Juli 2021. Bulan yang sangat mencekam bagi sebagian orang di Indonesia. Bulan dimana kasus infeksi Covid-19 di Indonesia menjalar amat sangat masif. Bulan ketika Anda hampir setiap hari mendengar kabar meninggal dunia dari grup Whatsapp. Bulan ketika banyak beredar cerita rumah sakit penuh, penanganan Covid-19 membludak, susah mencari kamar rawat inap kosong dan lain sebagainya. Sungguh jika kita mengingat kisah di bulan itu terasa sangat miris di dada.
Juli 2021 memang menjadi puncak gelombang kedua pandemi Covid-19 di Indonesia. Puncak konfirmasi positif terjadi di tanggal 15 bulan tersebut, yakni tercatat ada 56.757 kasus baru di Indonesia. Tak hanya itu saja, bulan Juli itu juga menjadi bulan dengan kasus kematian akibat Covid-19 tertinggi di Indonesia. Tercatat sebanyak 35.274 meninggal dunia dari seluruh Indonesia hanya di bulan Juli 2021 saja.
Saya yakin, mencekamnya kasus Covid-19 di bulan tersebut membuat kita lupa akan masalah lain yang juga sedang dihadapi oleh Bumi kita: Pemanasan Global.
Bulan Juli 2021 juga menjadi sejarah baru yang buruk bagi Bumi kita. Juli 2021 berhasil mencatatkan rekor terbaru menjadi bulan terpanas bagi permukaan Bumi kita. Di bulan tersebut, suhu rata-rata gabungan seluruh permukaan Bumi mencapai angka tertingginya semenjak pencatatan resminya di 142 tahun yang lalu.
Suhu rata-rata permukaan Bumi di bulan tersebut tercatat mencapai angka 16,73°C. Angka tersebut 0,93°C lebih tinggi daripada suhu rata-rata bulan Juli selama abad ke-20 ini yang berada di angka 15,8°C. Angka tersebut juga lebih tinggi dari suhu rata-rata tertinggi sebelumnya di bulan Juli 2016, yang kembali terulang di Juli tahun 2019 dan 2020. Bulan Juli di tahun-tahun tersebut suhu rata-rata permukaan Bumi hanya terpaut 0.01°C lebih rendah dari rekor terbaru Juli 2021.
Lalu Berapa Suhu Terpanasnya?
Death Valley, atau jika kita artikan ke dalam Bahasa Indonesia artinya adalah Lembah Mati, merupakan sebuah daratan unik di kawasan timur California, Amerika Serikat. Area ini disebut-sebut menjadi salah satu area terpanas di Bumi bersama-sama dengan gurun di kawasan Timur Tengah dan Sahara. Tempat ini didominasi oleh pegunungan dan perbukitan batu yang cantik sehingga sering digunakan sebagai latar belakang film-film Hollywood seperti Star Wars Episode IV adalah salah satunya. Satu lagi keunikan dari Death Valley adalah ketinggian kawasannya yang justru berada di bawah permukaan laut. Satu titik paling rendah di kawasan ini terletak di area bernama Badwater Basin yang memiliki ketinggian minus 86 meter di bawah permukaan laut.
Death Valley telah dicanangkan sebagai kawasan cagar alam Amerika Serikat sejak tahun 1933. Di kawasan tersebut dibangun monumen, museum, kawasan wisata, serta balai penelitian klimatologi yang secara rutin mendokumentasikan berbagai fenomena alam yang terjadi di kawasan tersebut, termasuk temperatur ambient.
Suhu permukaan Bumi paling panas yang secara resmi tercatat dan diakui oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO/World Meteorological Organization) terjadi di Death Valley. Tepatnya pada tanggal 10 Juli 1913, suhu udara di tempat itu tercatat mencapai 56,7°C. Catatan rekor tersebut menggeser rekor dari suhu udara di Al Azizia, Libya, pada tahun 1923 yang mencatat angka 58°C. Catatan ini sempat diakui sebagai rekor suhu bumi terpanas, namun keabsahannya diragukan sehingga WMO menghapus rekor dari Al Azizia tersebut.
Hari-hari di bulan Juli 2021 juga menjadi hari terpanas bagi kawasan Death Valley. Pada tanggal 9 Juli 2021 suhu udara di kawasan ini tercatat mencapai 54,4°C. Dan ternyata, angka tersebut adalah yang paling tinggi dari seluruh area pencatatan resmi di permukaan Bumi pada bulan mencekam ini.
Selain itu, bulan Juli 2021 juga mencatatkan beberapa fenomena unik lainnya:
- Kawasan Kutub Utara mencatatkan bulan Juli 2021 sebagai Juli terpanas sepanjang sejarah dengan temperatur rata-rata 1,54°C.
- Selain Kutub Utara, benua Asia juga mengalami Juli paling panas setelah melewati rekor sebelumnya di bulan Juli tahun 2010.
- Lapisan es di Samudra Arktik di Kutub Utara tercatat menjadi yang terendah keempat selama 43 tahun terakhir.
- Bulan Juli 2021 terjadi aktifitas topan tropis yang diatas normal termasuk terjadinya topan Elsa ketika itu.
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Kita sedang meracuni diri kita sendiri. Blak-blakan ingin saya utarakan bahwa eksploitasi besar-besaran manusia terhadap alam justru meracuni diri kita sendiri.
Grafik di bawah ini adalah angka selisih antara suhu rata-rata permukaan Bumi di tahun bersangkutan dengan angka rata-rata permukaan Bumi di abad keduapuluh (tahun 1901-2000). Nampak angka kenaikan tersebut dari tahun ke tahun terus meningkat.
Suhu permukaan Bumi rata-rata dari tahun 1901 hingga 2000 adalah sebesar 13,9°C. Sedangkan tahun 2020 mencatatkan diri sebagai tahun terpanas kedua sepanjang sejarah dengan angka 0,98°C di atas angka rata-rata abad 20 tersebut. Suhu rata-rata Bumi terpanas hingga saat ini terjadi di tahun 2016 yang 0,02 lebih tinggi dari tahun 2020.
Sekarang mari berandai-andai sejenak. Misalnya saja, dengan kondisi saat ini kita berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa berapakah suhu rata-rata Bumi kita di tahun 2050? Atau bahkan 2100?
Sejak tahun 1880, suhu rata-rata permukaan Bumi kita naik sebanyak 0,08°C setiap dekadenya. Namun sejak tahun 1980, kenaikan rata-rata suhu Bumi menjadi dua kali lipat lebih menjadi 0,18°C setiap dekade. Kenaikannya cukup eksponensial. Sehingga beberapa ahli memperkirakan di tahun 2030 hingga 2052 temperatur Bumi akan 1,5°C lebih tinggi daripada temperatur Bumi di masa pre-industri (1880-1900). Bahkan kemungkinan kenaikan suhu rata-rata Bumi bisa mencapai 2°C di akhir abad 21. Suhu rata-rata Bumi di masa pre-industri berada di angka 13,69°C.
Mari kita berpikir lebih luas lagi. Apa yang terjadi pada ekosistem sekitar kita jika kondisi ini kita biarkan? Berikut adalah beberapa prediksi jika suhu rata-rata Bumi naik 2°C lebih tinggi dari suhu rata-rata Bumi di masa pre-industrial:
- Kenaikan yang hanya 2°C akan membuat kawasan tropis termasuk Indonesia mengalami cuaca panas ekstrim yang lebih panas 4°C daripada masa pre-industri. Diprediksi sebanyak 37% populasi manusia akan terpapar panas ekstrim setiap lima tahun sekali jika hal tersebut terjadi.
- Jika suhu rata-rata Bumi naik 2°C, diperkirakan ketinggian air laut Bumi di tahun 2100 akan naik hingga 0,87 meter relatif terhadap tinggi rata-rata tahun 1986-2005.
- 18% jenis belalang, 16% tumbuhan, dan 8% vertebrata akan kehilangan separuh populasi mereka.
- Lautan Arktik akan kehilangan es-nya setiap sepuluh tahun sekali di musim panas.
- Jumlah ikan di seluruh laut Bumi akan hilang hingga tiga juta ton.
- Muncul masalah di sektor pertanian karena cuaca ekstrim yang sangat mungkin berdampak ke masalah pangan dunia.
- Manusia harus berhadapan dengan masalah kesehatan akibat cuaca ekstrim.
Inilah mengapa masalah Pemanasan Global berdengung kencang beberapa dekade terakhir. Begitu banyak pihak sudah paham, namun saya pribadi tidak begitu yakin sebanyak itu. Kesadaran kita akan isu lingkungan ini kurang mendapat porsi kuat di otak kita. Memang perlu trik-trik khusus untuk mengajak orang lain sadar akan masalah ini. Termasuk usaha saya mengulas masalah ini, saya hanya ingin mengajak siapapun Anda untuk bangun dan ikut sadar akan masalah Bumi kita ini.
Mengapa Bumi Semakin Panas?
Ketika saya masih bersekolah SD, istilah efek rumah kaca sudah melekat di kepala saya. Namun karena saya sudah bukan siswa SD lagi, mari kita bahas singkat bagaimana efek rumah kaca ini bisa terjadi dengan cara pembahasan lebih “indah”.
Kurang lebih 30 persen energi matahari terpantul oleh atmosfer Bumi, sehingga hanya sekitar 70 persennya saja yang sampai ke permukaan Bumi. Sebagian energi panas tersebut terserap oleh lautan, daratan, dedaunan tumbuhan, panel surya, pembangkit listrik tenaga panas matahari terkonsentrasi, dan lain sebagainya. Panas matahari yang tidak terserap akan kembali terpantulkan dalam bentuk sinar inframerah yang tak tampak oleh mata kita. Kabar buruknya, sebagian besar dari sinar inframerah ini —ya sebagian besar karena mencapai 90%— tidak bisa keluar dari atmosfer kita karena malah diserap energinya oleh atmosfer kita sendiri sehingga membuatnya semakin hangat, dan hangat setiap tahunnya.
Penyebab dari efek rumah kaca memiliki istilah yang mudah pula kita tancapkan ke kepala kita: gas rumah kaca. Saya betul-betul masih ingat meskipun cerita ini saya dapatkan ketika masih SD, gas rumah kaca adalah nama lain dari karbon dioksida. Namun istilah tersebut sebenarnya kurang tepat karena gas-gas lain seperti metana, dinitrigen oksida, serta gas florinasi juga berdampak terhadap terjadinya efek rumah kaca.
Empat gas rumah kaca yang menjadi penyebab utama pemanasan global memiliki tingkat pengaruh yang berbeda-beda. Derajat keberpengaruhan gas-gas tersebut disebut dengan Global Warming Potensial (GWP) yang ditentukan oleh tiga hal: jumlah gas tersebut di atmosfer, umur gas tersebut di atmosfer, dan seberapa efektif gas itu memerangkap panas.
Gas florinasi memiliki efek rumah kaca paling tinggi. Gas ini murni buatan manusia dan biasa diemisikan oleh manufaktur dan perindustrian. Sedangkan gas karbondioksida, sekalipun memiliki angka GWP rendah, namun menjadi gas rumah kaca yang paling banyak diproduksi oleh manusia.
Separuh Gas Karbon Dioksida di Bumi Dihasilkan Hanya Dalam Kurun Waktu Satu Abad Terakhir
Udara Bumi dari ribuan tahun silam tersimpan dalam bentuk gelembung-gelembung udara kecil yang membeku. Es yang menyimpannya berada jauh di dalam lapisan es daerah kutub utara dan selatan Bumi. Lapisan es dalam tersebut biasa dikenal dengan istilah inti es.
Sejak pertengahan abad ke-19, ilmuwan mulai melakukan pengeboran untuk mengetahui apa komposisi inti es. Ketika itu, pengeboran hanya berhasil mencapai kedalaman 60 meter, dan belum bisa mencapai lapisan inti es. Baru seabad kemudian, para ilmuwan berhasil melakukan pengeboran hingga kedalaman lebih dari 3.000 meter. Dari pengeboran itu, data komposisi atmosfer Bumi kita paling tua yang berhasil didapatkan adalah di 800.000 tahun yang lalu.
Dari inti es berusia 800.000 tahun tersebut —Homo Sapiens tertua yang pernah ditemukan hanya berusia 300.000 tahun— diketahui bahwa konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi berada di angka 200-280 ppm (part per million). Uniknya, angka tersebut bertahan hingga sekitar pertengahan abad ke-19. Setelah itu, seiring dengan terjadinya revolusi industri, ditemukannya mesin uap, eksploitasi sumber energi fosil besar-besaran, dan lain sebagainya, konsentrasi CO2 di atmosfer kita menukik naik sangat tajam. Dan hanya dalam kurun waktu seratusan tahun saja, manusia hampir berhasil menggandakan konsentrasi karbon dioksida di udara sehingga mencapai angka 400-an ppm.
Selanjutnya mari kita simak grafik gabungan antara peningkatan konsentrasi karbon dioksida di udara dengan temperatur ambien berikut ini. Dan mari biarkan saja data yang berbicara.
Sekarang mari kita bercermin dan menengok bagaimana posisi negara kita Indonesia dalam menyumbang emisi karbon dioksida. Berikut adalah sebuah ilustrasi yang saya kutip dari Our World in Data. Pada data tahun 2017 tesebut nampak bahwa Indonesia menyumbang 489 juta ton per tahun dan menduduki peringkat ketujuh tertinggi di Asia.
The Paris Agreement: Usaha Dunia Mengurangi Emisi CO2
Pada tanggal 12 Desember 2015, sebanyak 196 negara termasuk Indonesia menyepakati perjanjian bersama untuk menanggulangi Global Warming. Perjanjian yang kita kenal dengan The Paris Agreement ini menyepakati untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata udara Bumi agar tidak lebih dari 2°C lebih tinggi daripada suhu rata-rata era pre-industri. Namun perjanjian ini lebih mengupayakan untuk membatasi di angka 1,5°C maksimum.
Demi mencapai target jangka panjang perjanjian ini, negara-negara di dunia harus ikut andil untuk membatasi jumlah emisi gas rumah kaca. Target yang dicanangkan adalah mencapai kondisi iklim netral di pertengahan abad ini.
Bagaimana dengan Indonesia?
Negara kita berkomitmen kuat untuk ikut berpartisipasi mengurangi emisi gas rumah kaca. Komitmen tersebut tertuang dalam UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement Menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca. Berbagai kebijakan sudah mulai dikeluarkan oleh pemerintah seperti pengalihan anggaran subsidi bahan bakar ke pembangunan infrastuktur, pembangunan berbagai pembangkit listrik energi terbarukan, serta pengembangan teknologi Waste to Energy.
Tak hanya itu saja, dikutip dari Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Indonesia mencanangkan bahwa tahun 2058 Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang terakhir sudah pensiun. Dengan demikian, dicanangkan sudah tidak ada lagi penambahan pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar fosil di tahun 2030. Rencananya pula, Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir akan mulai dibangun di tahun 2040. Dengan skenario ini, diharapkan Indonesia akan mencapai Zero Emission karbon dioksida di tahun 2060.
Berhasilkah Dunia Menahan Laju Pemanasan Global di Angka 1,5°C?
Pertanyaan besarnya adalah, berhasilkah rencana-rencana indah tersebut menahan laju pemanasan global?
Sebuah studi di University of Washington pada tahun 2017 menyebutkan bahwa jika kita tidak melakukan apa-apa, jika tidak ada The Paris Agreement, dan jika pertumbuhan emisi gas rumah kaca tidak terkontrol, maka Bumi hanya memilki kemungkinan lima persen saja untuk menjaga temperatur udaranya berada di bawah 2°C dari suhu rata-rata masa pre-industrial.
Di bulan Februari 2021 lalu, ilmuwan yang sama dari University of Washington juga telah merilis hasil penelitian baru yang meyebutkan bahwa dibutuhkan usaha 80% lebih besar daripada yang telah disepakati oleh Perjanjian Paris, untuk bisa menjaga agar temperatur permukaan Bumi dapat dipastikan berada di bawah 2°C. Jika menurut The Paris Agreement disepakati bahwa emisi gas karbon dioksida setiap negara harus turun sebanyak 1% setiap tahunnya, maka penelitian ini menyarankan penurunan emisi karbon dioksida di angka 1,8% per tahun.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Vadim Vinichenko, Aleh Cherp, dan Jessica Jewell, menggunakan data historis untuk membandingkan sejarah masa lalu dengan target pengurangan emisi di masa depan. Mereka berusaha mencari preseden historis yang setidaknya mirip dengan rencana pemangkasan hingga total konsumsi bahan bakar fosil dunia.
Melalui penelitian tersebut, Vinichenko dan tim menemukan bahwa penurunan emisi karbon dioksida paling drastis terjadi dalam sejarah adalah di era tahun 1970 hingga 1980-an ketika terjadi shifting penggunaan sumber energi fosil dari minyak bumi ke batubara dan nuklir. Namun mereka tidak berhasil menemukan usaha preseden dari masa lalu yang setara dengan rencana usaha pengurangan emisi gas rumah kaca di masa depan. Sehingga menurut mereka, dibutuhkan penurunan penggunaan bahan bakar fosil secara ekstrim yang belum pernah dilakukan sepanjang sejarah manusia.
Penutup
Sebagai penutup, saya ingin mengutip sedikit pernyataan dari Habib Husein Ja’far Al-Hadar ketika mengobrol dengan Bapak Gita Wirjawan di podcast beliau yang bertajuk Endgame: Lebih Percaya Teknologi atau Spiritualitas. Habib Ja’far menyatakan bahwa memerlukan semua elemen masyarakat termasuk tokoh agama dan tokoh masyarakat, untuk ikut mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca. Hal tersebut diperlukan karena menurut Habib isu mengatasi Pemanasan Global ini tidak akan bisa jika hanya bertumpu kepada kemajuan teknologi saja, namun juga diperlukan juga upaya-upaya sosial dan budaya di tengah-tengah masyarakat kita.
Dapat dipastikan perlu langkah ekstrim untuk ikut mengatasi isu pemanasan global. Namun jika tidak diikuti dengan kesadaran kita bersama, kemungkinan keberhasilannya juga perlu dipertanyakan.
Maka mari melalui sedikit tulisan ini saya ingin mengajak kita semua untuk ikut sadar atas permasalahan Bumi ini. Saya ingin mengajak Anda melakukan langkah kecil sesuai dengan keahlian masing-masing untuk terus berkarya dan mengambil peran positif. Mari kita memberi dampak positif dari posisi kita masing-masing.
Referensi:
- Katadata
- covid19.go.id
- National Oceanic and Atmospheric Administration
- CO2levels.org
- Yale Climate Connections
- University of Washington
- http://dx.doi.org/10.1038/s43247-021-00097-8
- Science Daily
- http://dx.doi.org/10.1016/j.oneear.2021.09.012
0 Comments